Potret Guru Honorarium di Lembaga Pendidikan Islam: Sebuah Otokritik

guru_honorer_101126193305

M. Syahruzzaky Romadloni

Pasca reformasi, pendidikan Islam di Indonesia menemukan momentumnya untuk bangkit dari keterpurukan. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya sekolah-sekolah Islam yang menawarkan layanan pendidikan berkualitas dengan fasilitas yang memadai dan guru yang mumpuni. Tentunya hal ini kontras dengan keadaan beberapa dasawarsa yang lalu, di mana umat Islam sangat sulit memilih sekolah Islam yang berkualitas baik bagi anak-anak mereka. Kalau tidak ke sekolah negeri yang sekuler, maka mereka terpaksa menyekolahkan anak mereka di sekolah Katolik atau Kristen.

Ummat Islam di Indonesia kini memiliki Jaringan Sekolah Al-Azhar yang menawarkan pendidikan bagi anak-anak mereka dengan kualitas bagus, Sekolah Lazuardi milik CEO Mizan, Dr. Haidar Bagir, yang menerapkan strategi pembelajaran multiple intellegencies, dan MAN Insan Cendikia yang konsisten mencetak para calon ilmuwan muslim yang unggul di beberapa kancah lomba sains inernasional. Belum lagi sekolah-sekolah Islam yang memakai sistem pendidikan boarding school yang siap mendidik remaja-remaja Islam secara holistik; afektif, kognitif dan psikomotorik, duniawi dan uhkrowi, dirasah kauniyah dan dirasah islamiyah selama 24 jam penuh. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan Islam sedang menggeliat dan bangkit dari keterpurukan.

Namun, di balik capaian positif tersebut masih ada permasalahan pelik yang perlu kita pikirkan bersama terutama tentang Sumber Daya Manusia pendidikan Islam. Sumber Daya Manusia (baca: guru) memiliki peran dan sumbangsih yang signifikan terhadap maju atau tidaknya pendidikan Islam. Dalam Sekolahnya Manusia, Munif Chatib mengutip pidato Miriam Kronish, seorang Kepala SD terbaik di Amerika Serikat yang berpendapat bahwa kekuatan dari pendidikan adalah bagaimana agar kualitas guru semakin meningkat. Prof. Mahmud Yunus pernah mengatakan bahwa ‘metode pembelajaran lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode, dan ruh guru lebih penting dari guru itu sendiri’. Hal ini mengindikasikan bahwa guru memiliki peran sentral bagi kemajuan pendidikan Islam.
Dalam tulisan pendek ini penulis hendak membincangkan fenomena guru honorer di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ada apa dengan guru honorer? Apa yang salah dengan mereka? Di sini, penulis tidak bermaksud menyalahkan mereka yang kontribusinya terhadap pendidikan Islam tentunya sangat besar. Akan tetapi penulis hendak menyoroti sistem manajemen SDM yang berjalan di sebagian besar lembaga pendidikan Islam saat ini yang tidak mengakomodir mereka untuk berkembang dan memberikan pelayanan terbaik bagi ummat. Sistem yang berjalan ternyata menyebabkan implikasi negatif yang sistemik bagi peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan Islam.

Siapa itu Guru Honorer?
Sebelum membahas tema ini lebih jauh, perlu kiranya penulis memberikan batasan apa dan siapa guru honorer yang penulis maksud. Guru honorer adalah guru tidak tetap yang mengajar di lembaga pendidikan. Kalau dalam dunia perburuhan mereka dinamakan pekerja outsourcing yang sedang menjadi perbincangan hangat baru-baru ini. Sebagian besar dari mereka bekerja di sekolah-sekolah swasta. Karena keterbatasan keuangan sekolah dan efisiensi biaya, biasanya mereka mendapatkan honorarium dengan perhitungan jam mengajar. Itu pun mereka mendapatkan hak honorariumnya untuk 1 minggu, bukan 1 bulan. Misalnya mereka mengajar 24 jam seminggu. Honor yang mereka dapat adalah 24 x honor per jam bukan 24 x 4 (minggu) x honor per jam. Rata-rata dengan perhitungan seperti ini mereka mendapatkan Rp. 500.000 per bulan. Karena rendahnya honorarium yang mereka dapat sebagai imbas dari sistem ini, dan dengan dalih supaya dapur mereka tetap mengepul, mereka mesti nyambi ngajar di beberapa sekolah, atau melakukan beberapa pekerjaan tambahan seperti ngojek, berdagang, agen asuransi sampai menjadi pemulung!

Pak Mahmud misalnya, Kepala Sekolah MTs. Safinatul Husna Kalideres Jakarta Barat, harus nyambi menjadi pemulung karena penghasilnnya mengajar tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Penghasilan Rp. 500.000 per bulan tidak dapat mencukupi kebutuhannya di kota Metropolitan Jakarta. Setelah pulang dari sekolah pukul 14.00, beliau mengganti pakaian dinasnya dengan pakaian lusuh khas pemulung. Dia mencari barang-barang bekas yang masih bernilai ekonomis seperti botol plastik, kertas, dll. sampai larut malam. Kalau sudah begini siapa yang bertanggungjawab untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam? Padahal keadaan seperti ini terjadi di mayoritas lembaga pendidikan Islam.

Tentunya realitas ini menimbulkan beberapa implikasi negatif. Mengajar di beberapa sekolah atau nyambi pekerjaan lain selain mengajar akan membuat guru tidak fokus dan perhatian mereka terhadap anak didik menjadi kurang. Coba anda bayangkan, dalam 1 hari ada seorang guru yang harus mengajar di 3 sekolah sekaligus. Jam kesatu sampai keempat di sekolah A, kelima-keenam di sekolah B, dan ketujuh kedelapan di sekolah C. Belum lagi sore/malamnya mereka harus nyambi pekerjaan lain. Lalu kapan mereka harus menyiapkan pelajaran? Bagaimana mereka mampu mengenali kekurangan dan kelebihan peserta didiknya secara detail? Semuanya akan sulit mereka lakukan apabila pikiran dan perhatian mereka bercabang di beberapa tempat pekerjaan.

Padahal tugas guru di zaman sekarang sangatlah kompleks dan memerlukan fokus yang sangat tinggi. Setiap guru setidaknya memiliki 3 tugas pokok: merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran. Tentunya, ketiga tugas pokok tersebut membutuhkan konsentrasi yang tidak sedikit, yang sulit untuk tercapai apabila mereka harus memainkan beberapa peran dalam hidup mereka.

Sebelum melakukan proses belajar mengajar setiap guru berkewajiban mengembangkan kurikulum. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang telah pemerintah rumuskan harus guru kejawantahkan melalui penyusunan tujuan pembelajaran dan indikator, penentuan alokasi waktu, pemilihan teknik dan media pembelajaran yang akan mereka gunakan, dan lain-lain. Setelah itu mereka menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran/lesson plan baik untuk satu tahun pelajaran ataupun harian.
Setelah merencanakan, guru harus bisa merealisasikannya dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Dalam hal ini, selain dituntut untuk menguasai materi pelajaran, guru juga harus memahami metode-metode pembelajaran efektif. Di tengah dan di akhir pembelajaran mereka harus melakukan evaluasi dan menganalisis hasilnya. Para guru menggunakan analisis evaluasi tersebut untuk perbaikan di pembelajaran selanjutnya.

Lalu kapan guru akan melaksanakan tugas-tugas berat tersebut apabila waktu mereka tersita oleh tugas mengajar saja dan nyambi pekerjaan lain? Kapan guru bisa berkembang dengan mengikuti pelatihan-pelatihan dan mengikuti program continous professional development? Padahal seorang guru hendaknya adalah seorang pembelajar tiada henti karena mereka berada di lembaga pengembangan Sumber Daya Manusia tingkat tinggi yang bernama sekolah. Sedikit saja mereka lengah, maka akan terjadi malpraktek dalam bidang pendidikan.

Saatnya Stakeholder Peka
Melihat realitas menyedihkan ini, sudah saatnya para pemangku kebijakan pendidikan Islam mulai peka dan melihat jujur realitas ini. Selama ini, kita selalu menjalankan manajemen pendidikan Islam dengan sangat biasa, sehingga hasilnya pun biasa juga. Kita selalu saja terbuai dengan kuantitas, sedangkan kualitas dinomor duakan. Seringkali, posisi kita dalam percaturan dunia internasional ibarat buih di tengah lautan, banyak, tapi tak memiliki arti apa-apa.

Satu hal yang mesti dicamkan oleh setiap pemangku kebijakan pendidikan Islam: setiap guru haruslah sejahtera, baik itu secara fisik maupun psikis. Memenuhi kebutuhan fisik saja tidak cukup, karena kalau tidak disertai dengan pemenuhan psikis guru-guru di lembaga pendidikan Islam tidak akan mempunyai nilai dan ruh-ruh perjuangan. Pun, kesejahteraan psikis saja tidak cukup, karena mereka harus berjuang menafkahi keluarga.

Ketenangan dan kepastian mutlak harus ada dalam setiap guru. Ketenangan karena mereka senantiasa mendapatkan motivasi, dorongan, dukungan dan pencerahan untuk selalu ikhlas mengabdi. Kepastian karena mereka tidak perlu mengkhawatirkan lagi apakah besok dapur mereka masih mengepul atau tidak. Bagi saya, tidak ada alasan lagi bagi setiap pemangku kebijakan untuk tidak mencari solusi atas permasalahan Sumber Daya Manusia di lembaga pendidikan Islam. Jika tidak, tunggu saja tamat riwayatnya.

*Penulis adalah Ketua Biro Pendidikan dan Peneliti di Ruwaada Education Center Pondok Pesantren Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah Condong Kota Tasikmalaya Jawa Barat.

2 thoughts on “Potret Guru Honorarium di Lembaga Pendidikan Islam: Sebuah Otokritik

Leave a comment