Keluarga Tempat Kembali

Happy family with several members in education process

Muhammad Syahruzzaky
Pemred Majalah Condong

Renggo, siswa kelas 5 SD di Jakarta, harus meregang nyawa di usia mudanya. Pasalnya, dia tewas terbunuh setelah dianiaya oleh kakak kelasnya sendiri di sekolah. Seperti yang dikutip dari sumutpos.co, kejadian ini berawal ketika Renggo secara tidak sengaja menyenggol SY dan menjatuhkan es pisangnya. Tidak terima, SY kemudian menganiaya Renggo dengan memukul kepalanya dan menyodok gagang pengepel pada bagian perut Renggo. Tidak cukup disitu, SY masih terus menghajar Renggo dengan tendangan di kepala, meskipun Renggo sudah terjatuh. Walhasil bocah malang ini mengalami pendarahan dan menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Tak hanya di Jakarta, kasus serupa juga terjadi di Bekasi, di mana seorang bocah SD dibunuh hanya karena mempunyai hutang kepada pelaku sebesar seribu rupiah. Seperti dikutip dari Republika.co.id, bocah tersebut harus meregang nyawa karena diceburkan oleh pelaku yang tak lain adalah temannya sendiri ke sungai. Karena korban tak bisa berenang, dia tewas dan tubuhnya ditemukan mengambang keesokan harinya.

Kembali ke ibu kota, seorang pelajar SMK menyiram air keras ke penumpang bus PPD 213 jurusan Kampung Melayu-Grogol Oktober tahun lalu. Sekira 16 orang termasuk kondektur dan sopir mengalami luka bakar dan harus dilarikan ke sejumlah rumah sakit di Jakarta. Tompel, nama panggilan pelaku, tega melakukan perbuatan sadis itu karena memendam dendam dengan pelajar SMK tetangganya yang pernah menyiramnya dengan air keras setahun lalu. Alih-alih membalaskan dendamnya, Tompel kini harus mendekam di penjara selama 2 tahun untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang tak layak itu.

Di Tasikmalaya komplotan geng motor yang mayoritas remaja tanggung mengeroyok dua siswa sekolah dasar yang sedang berangkat ke sekolah beberapa waktu lalu. Seperti yang dilaporkan kompas.com, komplotan tersebut menghantam kepala kedua bocah dengan pipa bisa karena menolak memberikan uang. Kedua bocah itu pun harus dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

***

Kasus-kasus di atas merupakan rentetan peristiwa memilukan yang menerpa anak-anak kita. Dewasa ini anak-anak kita, di usia muda mereka, harus bersinggungan dengan permasalahan-permasalahan sosial akut seperti perkelahian, sex bebas, narkotika, tawuran, pencurian dan penjarahan, geng motor dan kenakalan remaja lainnya. Bahkan, fenomena ini banyak yang sudah bersinggungan dengan ranah hukum seperti pencabutan paksa nyawa seseorang, penjarahan harta milik orang lain dan sebagainya.

Menurut data BNN yang dilansir pada tahun 2004, angka pecandu narkoba di Indonesia mencapai 4 juta orang. Tujuh puluh persen di antaranya adalah pelajar. Pada tahun 2009 Kemenkes melakukan penelitian di 4 kota, Jakpus, Medan, Bandung dan Surabaya. Hasilnya sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks pra nikah, sedangkan 6,9 persen lainnya mengaku sudah melakukan hubungan badan pra nikah dengan temannya.

Angka-angka ini tidak bisa disepelekan, mengingat peran strategis generasi muda dalam regenerasi pemimpin bangsa. Bukan tidak mungkin, permasalahan yang membelit anak-anak ini akan menjadi gunung es ketika mereka beranjak dewasa dan mengambil alih estafeta kepemimpinan negeri. Bisa jadi karut marutnya pemerintahan sekarang ini akan semakin parah, mengingat generasi penerusnya telah terjangkit virus-virus sosial yang akut.

Menanggapi permasalahan ini, beragam analisis pun mengemuka dari para ahli. Sebagian menyalahkan sekolah, yang gagal memberikan pendidikan karakter bagi siswanya. Doni Koesoema, pakar pendidikan karakter, misalnya menuding sekolah tidak berhasil menginternalisakan nilai-nilai karakter di dalam kelas. Mayoritas guru-guru hanya memposisikan diri sebagai pengajar, bukan pendidik. Wajar saja, apabila anak-anak kita menjadi keblinger di tempat yang seharusnya membuat mereka pinter.

Sebagian yang lain menunjuk pemerintah yang tidak becus mendidik rakyatnya. Professor Winarno Surakhmad, begawan pendidikan nasional, beranggapan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tidak memiliki blueprint jangka panjang dalam perencanaan pendidikan nasional sehingga seringkali kebijakannya saling tumpang tindih. Adigum ‘ganti menteri, ganti kebijakan’ sudah menjadi lumrah ketika menyikapi perubahan tanpa landasan yang jelas yang dilakukan oleh pejabat Kemdiknas.
Ada juga yang menuding semakin permisifnya bangsa Indonesia terhadap budaya asing, khususnya budaya barat sebagai biang dari permasalahan ini. Tidak sedikit pula mereka yang mengingatkan, bahwa permasalahan ini bermula dari institusi terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga.

Melihat Institusi Keluarga
Untuk mengurai benang kusut permasalahan generasi muda, ada baiknya kita menengok institusi terkecil dari masyarakat yaitu keluarga. Menurut A.W. Widjaya, penulis buku Individu, Keluarga dan Masyarakat keluarga berarti sekelompok orang yang memiliki pertalian sedarah atau perkawinan. Anggota keluarga inti (nuclear family) biasanya terdiri dari ibu, bapak dan anak-anaknya. Sedangkan keluarga yang lebih besar (extended family) memiliki anggota yang lebih banyak seperti kakek, nenek, paman, keponakan dan yang lainnya.

Dalam kaitannya dengan eksistensi keluarga, ajaran Islam memiliki perhatian yang sangat besar, terutama anjuran untuk senantiasa menjaga keutuhan keluarga. Keluarga memiliki tugas penting, yaitu untuk menjaga dan menyelamatkan setiap anggotanya dari api neraka. Dalam Q.S. at-Tahrim ayat 6, Allah swt. memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk menjaga dirinya dan setiap anggota keluarganya dari siksa api neraka. Artinya, dalam keluarga harus ada mekanisme yang memproteksi setiap anggotanya untuk berbuat hal-hal yang keluar dari koridor ajaran Islam.

Menilik tugas di atas, pembangunan suatu masyarakat harus dibebankan pertama kali kepada institusi keluarga. Hal ini wajar, karena ketika satu keluarga berhasil membebaskan diri dari gangguan syaitan, maka akan berakibat langsung pada seluruh elemen masyarakat. Suatu bangsa akan baik, apabila keluarganya berhasil terbebas dari rayuan dan tipu daya syaitan.

Inilah kiranya mengapa Rasulullah saw. mewanti-wanti bahwa syaitan akan melakukan tindakan makarnya pertama kali dengan meruntuhkan keutuhan keluarga. Dalam hadits shahih Muslim, Rasul saw. mengisyaratkan bahwa salah satu strategi syaitan merusak tatanan kehidupan adalah dengan memisahkan suami dan istrinya dalam lembaga keluarga. Ketika tugas ini dapat ditunaikan dengan baik oleh syaitan, serta merta mereka merusak masyarakat dalam cakupan luas. Mungkin, fenomena inilah yang sedang terjadi di masyarakat Barat sekarang.

Campur tangan keluarga dalam pendidikan anak terbukti ampuh. Dalam berbagai studi dilaporkan bahwa pendidikan keluarga memiliki korelasi signifikan dengan perkembangan anak dalam berbagai hal. Ada sebuah laporan yang menyatakan bahwa campur tangan sang ayah dalam pendidikan anaknya, ternyata memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan prestasi anak. Maka dari itu peran orang tua sangat dibutuhkan dalam mendidik anak dalam lembaga keluarga.

Namun sayangnya, peran keluarga dalam pengembangan anak terancam oleh beberapa permasalahan. Permasalahan sosial seperti kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, tempat tinggal dan yang lainnya sudah menjadi hal lumrah dalam keluarga Indonesia. Menurut data Komnas Perempuan Indonesia yang dilansir tahun 2012, 60 persen perempuan Indonesia menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan angka perceraian di Indonesia seperti yang dikutip oleh okezone.com mencapai angka 285.184 pasangan dari dua juta pasangan yang menikah tahun 2010. Angka ini merupakan tertinggi se-Asia Pasifik. Bahkan menurut data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Fenomena ini tidak dapat dimungkiri berpengaruh pada perkembangan psikologi anak Indonesia.

Beberapa tantangan
Dewasa ini, ada beberapa tantangan yang harus diwaspadai oleh setiap keluarga Indonesia. Yang paling mengemuka adalah masifnya pengaruh globalisasi yang memungkinkan ekspor budaya asing ke negeri kita. Sajian budaya asing yang ditampilkan di televisi, media cetak, radio, film dan media lainnya tidak dapat dimungkiri memengaruhi budaya dan gaya hidup anak-anak kita. Kita melihat mengguritanya hegemoni budaya K-Pop, J-Pop atau barat.

Setiap budaya yang masuk ke Indonesia menjejalkan faham, norma, gaya hidup dan nilai tertentu yang bisa jadi kontradiktif dengan kearifan lokal. Selama ini, budaya asing khususnya budaya barat disinyalir mengekspor juga gaya hidup bebas seperti free sex, perillaku hedonis, materialistis dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut yang sering bertabrakan dengan kearifan lokal dan mengancam keutuhan keluarga.

Selain itu, bahaya laten budaya barat juga membawa ‘virus’ yang bernama modernisme. Modernisme adalah suatu pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah keyakinan agama, agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan kepercayaan pada sains, perencanaan, sekulerisme serta kemajuan (Ahmad, 1996:22).

Di balik sisi positif yang dikandungnya, modernisme dan aspek ekstrimnya, hipermodernisme merusak tatanan kebudayaan lokal dan tradisi yang sudah mapan. Norma-norma agama yang sangat dijunjung oleh bangsa Indonesia lambat tapi perlahan dilabrak dan dikebiri. Lihat saja bagaimana anak-anak kita dengan mudah mengonsumsi gaya hidup barat yang sangat dekonstruktif.

Selain tantangan di atas, industrialisasi yang masif teradi di Indonesia juga membawa dua koin yang berbeda. Di satu sisi hal ini meningkatkan taraf hidup keluarga, namun di sisi lain mereka harus membayarnya dengan retaknya struktur dan fungsi keluarga yang sudah established. Kita melihat dewasa ini semakin banyak jumlah ibu yang meninggalkan anak-anak mereka di rumah tanpa mendapatkan kasih sayang yang semestinya mereka dapatkan. Akhirnya, banyak anak yang mencari kasih sayang di jalanan dan tidak sedikit yang menjurus pada hal-hal negatif.

Tantangan di atas kalau tidak kita hadapi dengan bijak akan mengakibatkan disorganisasi keluarga; yaitu perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya.

Memperkuat institusi keluarga
Disorganisasi keluarga bisa jadi merupakan biang yang merapuhkan kerekatan keluarga dan akar permasalahan bangsa yang lebih kompleks. Untuk itu, setiap keluarga hendaknya melakukan berbagai macam cara untuk memperkuat institusi keluarga dan menghindari disorganisasi yang bisa serta menghancurkan fondasi keluarga. Dra. Wilodati, M.Si., staf pengajar Universitas Pendidikan Indonesia, memaparkan ada sedikitnya dua langkah untuk menjaga keutuhan keluarga. Yang pertama adalah dengan mengintensifkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan kontak sosial dan komunikasi antar anggota keluarga, sedangkan yang kedua adalah penguatan peran ibu dalam memberikan pendidikan dan pengasuhan di dalam institusi keluarga.

Interaksi sosial dan komunikasi sangat penting untuk memperkuat kerekatan keluarga. Dengan interaksi sosial, orang tua dapat mengajarkan anak-anak mereka norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam komunitasnya, sehingga mereka bisa terhindar dari perilaku-perilaku menyimpang. Selain itu, orang tua juga dapat menggunakan komunikasi sebagai media pemberian makna terhadap perilaku-perilaku yang anak temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, gelombang industrialisasi sedikit banyak telah memengaruhi pola interaksi dan komunikasi keluarga. Banyak orang tua yang kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka karena harus bekerja dari pagi sampai larut malam. Bahkan, banyak yang harus berangkat kerja ketika anak mereka belum bangun pagi, dan pulang ketika mereka sudah terlelap tidur.

Untuk mengantisipasi hal ini, orang tua perlu menyiasatinya dengan memperbanyak waktu berkualitas (quality time) yang dapat mereka gunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Selain itu, mereka juga bisa memantau kegiatan anak dengan berkomunikasi lewat alat komunikasi yang ada seperti telepon seluler dan lain sebagainya. Strategi ini sudah banyak digunakan oleh orang tua yang super-sibuk, tapi masih peduli terhadap pendidikan dan pengasuhan bagi anak-anak mereka.

Hal lain yang dapat orang tua lakukan untuk mencegah disorganisasi keluarga adalah penguatan peran ibu dalam pendidikan keluarga. Meskipun dewasa ini banyak perempuan yang masuk dunia kerja, tapi hendaknya mereka tidak meninggalkan perannya sebagai guru pertama bagi anak-anak mereka. Kehadiran ibu dalam kehidupan anak sangat membantu terutama untuk memberikan rasa aman dan keeratan (child bonding), sehingga dapat menumbuhkan kelekatan (attachment) antara anak dan ibu. Tak dapat dimungkiri, ibu adalah sekolah pertama bagi anak dan peletak fondasi karakter anak.

Insyallah, dengan langkah-langkah ini kita akan memiliki keluarga yang kuat dan anak-anak kita akan merasa nyaman di dalamnya. Dengan begitu, kita akan melihat generasi kuat yang akan mengisi ruang kepemimpinan masa depan untuk Indonesia lebih baik. Semoga!

*Telah diterbitkan di Majalah Condong Edisi Keempat Januari – Juni 2014

Leave a comment