Loyalitas terhadap nilai-nilai lembaga

Beberapa waktu lalu saya mengunjungi sebuah lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren untuk belajar beberapa hal terkait pengelolaan perguruan tinggi.

Di sana saya menemukan hal menarik, yaitu loyalitas alumni pada almarhum kiainya. Meskipun sang pendiri pesantren telah wafat, murid-muridnya – yang kini menjadi guru/dosen – istiqamah mengabdikan diri pada institusi pendidikan yang diwariskan oleh sang kiai.

“Di sini saya hanya tabarukkan pada Kiai A,” ujar sang alumni.

Di sini bisa kita lihat bahwa loyalitas alumni tersebut bersandar pada ketokohan sang Kiai.

Di beberapa pesantren, terutama pesantren tradisional, model ini jamak terjadi dan sudah menjadi kekhasan pesantren.

Namun, dalam hemat saya model kesetiaan seperti ini memiliki kelemahan. Pondasinya rapuh; mengandalkan ketokohan sang Kiai.

… sudah sepantasnya loyalitas di pondok harus ditujukan pada hal yang lebih abadi, yaitu nilai-nilai dan falsafah pondok yang telah digariskan di awal.

Kita tahu ketokohan tidak abadi. Beberapa tahun setelah Kiai wafat, bisa jadi hal tersebut akan pudar dan diganti dengan ketokohan kiai baru, suksesor sang pendiri.

Sangat jarang sang suksesor memiliki karakteristik yang sama dengan pendahulunya. Bisa jadi lebih bijak, namun banyak juga yang sembrono.

Kalau yang terjadi cenderung ke nomor dua, pesantren tidak akan berjalan secemerlang dulu, ketika sang pendiri masih ada.

Ukuran ketokohan sangat subyektif untuk dijadikan pijakan. Sulit untuk bisa diduplikasi.

Maka loyalitas terhadap ketokohan sangatlah rapuh.

Lain ceritanya apabila pondasi kesetiaan tersebut adalah nilai-nilai dan sistem yang diwariskan oleh sang Kiai. Bukan pada ketokohan. Nilai tersebut relatif lebih abadi dan akan dikenang oleh para penerusnya. Apalagi kalau nilai-nilai tersebut senantiasa disosialisasikan oleh kiai suksesor kepada generasi penerusnya.

Lebih-lebih KH Hasan, pimpinan Pondok Modern Gontor, pernah menyatakan bahwa yang menjadi sebuah kekuatan sebuah lembaga adalah nilai-nilai dan falsafahnya. Bukan karena gurunya, kurikulumnya, atau fasilitasnya.

Ya, hal-hal tersebut (guru, kurikulum, fasilitas) memang penting tapi harus direkatkan oleh nilai-nilai kepesantrenan yang kuat dan matang.


Berkaca dari pengalaman di atas sudah sepantasnya loyalitas di pondok harus ditujukan pada hal yang lebih abadi, yaitu nilai-nilai dan falsafah pondok yang telah digariskan di awal.

Namun, apakah setiap pondok sudah memiliki falsafah Kepesantrenan yang baik, dan disosialisasikan kepada seluruh stakeholder?

Itulah tantangnya.

Leave a comment