Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren

 

Sebelum mendirikan pesantren, K.H. Masbuhin Faqih, pendiri Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Gresik meminta restu dari kiainya, K.H. Abdullah Faqih Langitan (Klikjatim).

Oleh: Moh Syahrul Zaky Romadhoni 

PONDOK pesantren lahir di muka bumi tidak berada dalam ruang kosong, akan tetapi memiliki konteks dan tujuan yang jelas. Yang saya pahami, pada awalnya tujuan tersebut tidak pernah merujuk pada hal-hal yang bersifat duniawi, akan tetapi berangkat dari kesadaran untuk melanjutkan estafeta perjuangan Nabi Muhammad s.a.w dalam mengenalkan risalah tauhid kepada umat manusia di muka bumi. Adapun ketika realitas sekarang berbicara hal yang sebaliknya, menurut hemat saya, itu lebih disebabkan karena aspek-aspek eksternal yang ikut menjangkiti kalangan pesantren. 

Pondok Pesantren memiliki nilai-nilai kultural yang khas dan unik yang membedakannya dari lembaga pendidikan sejenis. Salah satu cultural value yang melekat adalah lahirnya pesantren harus berasal dari niat tulus para ulama untuk nasyrul ‘ilmi, meneruskan estafeta perjuangan Rasulullah s.a.w dan para pewarisnya.

Continue reading “Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren”

“Jadilah ulama yang intelek, bukan intelek yang sekedar tahu agama” (2)

Pondok Modern Gontor tempat penulis menghabiskan lima tahun masa SMA-nya. (Pinterest)

Oleh : Moh Syahrul Zaky Romadhoni 

Ketika saya mondok di Gontor, saya sering mendengar petuah dari Almaghfurlah Kiai Syukri yang berbunyi, “Jadilah ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama.” Petuah ini seringkali diulang-ulang oleh beliau dalam sesi pengarahan dengan para santri. Saya tahu bahwa ungkapan ini sejatinya berasal dari ayah beliau, yang juga salah satu dari 3 pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, yaitu Almaghfurlah K.H. Imam Zarkasyi. Saking pentingnya, beberapa space di pondok – seperti di dinding balai pertemuan – tertempel kaligrafi tulisan yang memuat nasihat ini.

Ketika pertama kali mendapatkan wejangan ini saya agak sedikit protes dalam hati. Kala itu saya berpikir jika semua pondok memiliki prinsip seperti ini, kita tidak akan menemukan ilmuwan muslim yang menguasai ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer semisal Fisika, Matematika, Sosiologi dan lainnya, karena semua lulusan pesantren hanya berkutat pada kajian-kajian keagamaan yang bersumber pada penafsiran dua sumber teks utama ajaran Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadits. 

Continue reading ““Jadilah ulama yang intelek, bukan intelek yang sekedar tahu agama” (2)”

Tren Kaum Santri Belajar di Luar Negeri

 

Saat ini, santri bisa meraih cita-citanya sebagai intelektual muslim. (pinterest)

Oleh : Moh Syahrul Zaky Romadhoni 

“Carilah ilmu sampai ke negeri China,” 

Pepatah itu mungkin bukan hadits Nabi karena memiliki cacat dari segi riwayat. Namun, dari segi isi, kita mafhum bahwa proses mencari ilmu lintas negara sudah terjadi semenjak zaman baheula. 

Tak terkecuali dengan para ulama salaf. Mereka terbiasa menempuh jarak ribuan kilometer untuk talaqqi pada seorang guru, atau untuk sekedar memastikan keaslian sebuah riwayat hadis Nabi s.a.w. 

Alkisah ada seorang ulama besar, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari atau yang terkenal dengan sebutan Imam Bukhari. Beliau rela melanglang buana ke beberapa negeri untuk mendapatkan periwayatan satu hadis. Negara-negara yang pernah beliau singgahi di antaranya adalah Syam, Mesir, Basra, Makkah dan Madinah. 

Continue reading “Tren Kaum Santri Belajar di Luar Negeri”

“Jadilah ulama yang intelek, jangan intelek yang sekedar tahu agama”

 

Seorang santri harus menjadi seorang ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama (pinterest).

Di pesantren, kita sering mendengar petuah kiai, “jadilah ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama.” 

Dalam beberapa kesempatan, karena saya belum bisa mencerna nasihat ini, seringkali saya melontarkan protes di dalam hati. Kenapa harus seperti itu? Kalau semua pesantren memiliki prinsip seperti ini, maka yang dilahirkan oleh pesantren hanya orang-orang yang cakap agama, akan tetapi tidak akan ada muslim yang mahir dalam penguasaan ilmu pengetahuan kontemporer. Tidak akan ada ahli yang menguasai ilmu-ilmu “duniawi”. 

Jika ini terjadi, maka umat Islam akan selalu tertinggal dalam hal penguasaan aspek-aspek keduniaan. Pun, kaum Muslimin tidak akan mampu menjalankan perannya sebagai khalifah secara sempurna. 

Padahal kita semua mafhum bahwa tugas kita, selain untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat, juga harus bisa meraih kebahagiaan dunia. Istilah agamanya assa’adah fi darain. 

Continue reading ““Jadilah ulama yang intelek, jangan intelek yang sekedar tahu agama””

Apakah lembaga pendidikan perlu mendengar masukan dari orang tua?

Bus Sekolah (sumber foto: reviewjournal.com)

Oleh: Moh Syahrul Zaky Romadhoni

SETIAP lembaga pendidikan memiliki visi, misi, tujuan dan nilai yang khas dan membedakannya dari lembaga sejenis. Seperangkat alat tersebut biasanya merupakan hasil perasan dari filsafat pendidikan yang dianut oleh stakeholders lembaga yang diejawantahkan dalam aspek-aspek yang lebih teknis. 

Ini berimplikasi pada proses dan hasil pembelajaran serta kualifikasi lulusan, termasuk penyerapan lulusan oleh pihak eksternal seperti universitas, dunia kerja atau masyarakat pada umumnya. 

Continue reading “Apakah lembaga pendidikan perlu mendengar masukan dari orang tua?”