Di Antara Dua Dunia: Pengorbanan Sang Ibu

ibu

M. Syahrul Zaky Romadhoni
@syahruzzaky

Tersiar kabar bahwa Bu Ai, salah satu staf tata usaha pesantren, harus menjalani operasi sesar pekan ini. Ini adalah kali kedua beliau harus menjalaninya, mengingat tujuh tahun silam, beliau harus melahirkan dengan cara serupa. Kami, yang sedang santai berkumpul dan berceloteh di kantor, seketika merasakan kengerian membayangkan perjalanan berat yang harus beliau lalui.

Memang, bagi seorang perempuan, melahirkan adalah salah satu fase perjalanan hidup yang sangat getir. Bagaimana tidak, dia harus merasakan berada di manzilah baina manzilatain, keadaan antara dua keadaan, tepatnya posisi antara terus bertahan hidup atau harus rela mengorbangkan nyawanya.

Maka wajar, di balik kegetiran ini, selalu ada cerita-cerita heroik pengorbanan seorang ibu dalam mengantarkan anaknya ke dunia. Kita sering mendengar cerita tentang seorang ibu yang mengorbankan nyawanya demi kelahiran sang anak atau kisah tentang ibu yang harus meninggalkan karir karena lebih memilih cuti hamil dan melahirkan anaknya. Yang lebih mengharukan bagaimana kita melihat selama sembilan bulan ibu harus berjibaku menjalankan rutinitas pekerjaan berdua dengan sang janin.

Dahulu, ketika teknologi persalinan tidak secanggih sekarang, suasana getir ini sangat kental terasa. Seorang ibu yang sudah merasakan tanda-tanda melahirkan harus berhadapan pada keadaan di mana untuk menemukan seorang bidan saja susah, apalagi mengharapkan jasa dokter kandungan. Dia harus ‘puas’ hanya mendapatkan jasa paraji, yang nota bene kita tidak tahu darimana dia mendapatkan keterampilan melakukan persalinan. Rendahnya angka keselamatan bayi sudah cukup untuk menunjukan suasana getir proses persalinan pada masa itu.

Kemajuan teknologi persalinan yang sangat pesat dewasa ini tetap saja tidak menghapus stigma ini; persalinan adalah sebuah horor. Tetap saja, seorang perempuan harus merasakan sakit yang tidak terperi ketika harus mengeluar sang janin dari rahimnya. Teknologi apapun tak mampu untuk menghilangkan rasa sakit yang disebabkan oleh proses ini.

Ajaibnya, banyak kaum ibu yang tetap rela untuk menjalani takdirnya, apapun reskio yang akan mereka hadapi. Saya kira, peradaban manusia, yang kita lihat sekarang ini, berutang begitu besar pada pengorbanan mereka yang masih setia untuk menjalani kodratnya. Semua elemen masyarakat harus berterima kasih atas pengorbanan terbesar ini.

Maka saya tak bisa mencerna alur berpikir sebagian orang yang mencoba mencabut previllige yang kaum ibu miliki dengan menyebarkan paham yang alih-alih memuliakan perempuan, justru mengancam ekstensi peradaban manusia. Mereka menganjurkan perempuan untuk bersikap egois. Menolak institusi pernikahan, karena mereka pikir itu ajang penindasan. Mematikan sel telur, karena mereka anggap itu awal mula penderitaan. Menghancurkan lembaga keluarga, karena mereka berpendapat itu penghambat agenda kesetaraan perempuan dan laki-laki. Apabila setiap perempuan memilih untuk bersikap seperti ini, maka kehancuran peradaban manusia sudah di depan mata kita.

Menyikapi pemikiran yang berpijak dari pendekatan konflik ini – yang selalu melihat suatu hal dari dua titik yang saling berbenturan – kita harus membuka mata dan hati ini dengan jernih. Sang Pencipta telah menciptakan makhluk dengan fungsinya masing-masing. Semua akan indah apabila berjalan sesuai kodratnya. Apa jadinya kalau matahari menolak untuk menjadi sumber cahaya? Air emoh berhembus? Atau Sang Ibu enggan melahirkan peradaban manusia? Wallahu A’lam. 

Leave a comment