Memaknai Kemenangan Umat Islam

kesatuan tubuh

@syahruzzaky

Bulan Syawal telah meninggalkan kita, namun gemanya nampak masih terngiang dalam ingatan. Keceriaan dan kegembiraan dalam alunan takbir menggema di seluruh penjuru negeri; tua, muda, pria, wanita, kaya dan miskin tumpah ruah menjadi satu. Ya, umat Islam merayakan “kemenangannya” dalam perayaan Idul Fitri.

Sejatinya, makna Idul Fitri adalah diperbolehkannya umat Islam untuk makan dan minum di siang hari setelah Allah melarangnya selama bulan Ramadhan. Prof. Dr. Musthofa Ali Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, menyatakan bahwa ‘ied’ bermakna kembali dan ‘fitr’ berarti buka. Artinya, umat Islam diperkenankan kembali untuk mencicipi makanan di siang hari. Maka wajar, apabila perayaan Idul Fitri di seluruh dunia identik dengan makanan khas daerahnya masing-masing.

Dalam realitanya, makna Idul Fitri selalu identik dengan hari kemenangan. Lihat saja berbagai ucapan selamat, iklan pariwara dan ceramah para kyai di berbagai media selalu menyandingkan idul fitri dengan kata “kemenangan”, “bermaaf-maafan” dan “silaturrahim”. Sayangnya, makna kemenangan ini masih samar sehingga tak menyentuh aspek sosial-fungsional umat Islam.

Para cendikiawan Muslim menafsirkan secara berbeda makna kemenangan dalam konteks Hari Raya Idul Fitri, tergantung dari perspektif dan argumen yang mereka gunakan. Sebagian ulama berpendapat kemenangan Idul Fitri dapat kita raih karena dosa-dosa terhapus dan kita kembali kepada kondisi fitrah. Pendapat ini merujuk pada makna etimologis dari bulan Ramadhan (ramadha: panas menyengat yang membakar); di mana di bulan ini dosa-dosa kita dibakar dan dimusnahkan. Selain itu, hadits masyhur Rasul saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh yang menyatakan barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan menghirap ridha Allah, dia akan diampuni dosa-dosa terdahulunya, adalah argumen lain yang menguatkan penafsiran ini.

Meskipun begitu, ada beberapa ulama yang mencoba menafsirkan kemenangan ini dengan perspektif yang lebih luas. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, staf pengajar UIN Jakarta, misalnya mengatakan bahwa kemenangan tersebut setidaknya memiliki 5 makna; 1) kemenangan iman atas kufur, 2) kemenangan akhirat atas dunia, 3) kemenangan kesungguhan atas kemalasan, 4) kemenangan kesabaran atas pengendalian diri, dan terakhir 5) kemenangan kepedulian sosial. Tentunya setiap argumen memiliki landasan pemikiran masing-masing.

Dalam pandangan penulis, makna kemenangan dalam Islam memiliki dimensi yang sangat luas, dan tidak terbatas pada pemaknaan dalam konteks Idul Fitri saja. Apabila merujuk pada momentum penaklukan kota Makkah (Fathul Makkah), penulis berpendapat bahwa kemenangan berarti terbebasnya umat dari segala macam penindasan, kesewenang-wenangan, penzaliman, pemiskinan dan pembodohan. Kita tahu, pasca penaklukan, umat Islam bisa menjalankan keyakinannya dengan bebas tanpa intervensi dari kaum kafir Quraisy, bahkan bisa ekpansi dakwah ke daerah di luar Jazirah Arab.

Masih merujuk momentum Fathul Makkah, yang mana didahului oleh Perjanjian Hudaibiyah, Pancasila sebagai dasar negara, menurut hemat penulis, adalah ‘kemenangan’ kecil umat Islam di Indonesia untuk mendapatkan kemenangan yang lebih besar. Pancasila memungkinkan umat Islam bisa leluasa beribadah dan berdakwah di negeri yang notabene penduduknya plural dan majemuk ini.

Syariat Islam memang wajib kita tegakkan, tapi pelaksanaanya bisa bervariasi sesuai dengan konteks masyarakat yang melingkupinya. Ketika melihat fakta sosiologis bahwa masyarakat Indonesia plural dan majemuk, maka penegakkan Syariat Islam harus bisa berkompromi dengan Pancasila.

Fathul Makkah dan Kemenangan Umat Islam di Masa Nabi SAW

Fathul Makkah atau penaklukan kota Makkah adalah puncak dari perjalanan awal dakwah Rasul saw. Setelah mengalami penindasan yang berkepanjangan, akhirnya umat Islam dapat dengan bebas beribadah tanpa dihantui intimidasi kaum Kafir Quraisy. Selain itu, Rasul saw dapat melebarkan kepak dakwahnya ke daerah-daerah non-Arab.

Dalam penaklukan ini, bukan hanya simbol-simbol Islam yang jaya, akan tetapi nilai-nilai Islam substansial pun tegak berdiri. Keadilan, toleransi antar umat beragama, persamaan hak, kebebasan beribadah dan perdamaian antar klan menjadi hal lumrah di kalangan masyarakat Arab. Padahal, di masa pra-Islam, sangat sulit kita menemukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sosial masyarakat Arab.

Menurut Wahyu Budi Nugroho, MA., sosiolog Universitas Udayana, Fathul Makkah adalah revolusi sosial tanpa pertumpahan darah selain revolusi kelas menengah Inggris di bawah kepemimpinan Oliver the Cromwell pada tahun 1700-an. Dalam momentum ini, Rasulullah saw pernah bersabda bahwa siapa yang masuk masjid, dia aman. Begitupun yang masuk rumah Abu Sufyan, dia juga aman. Di sini terlihat bagaimana penaklukan Makkah terjadi tanpa ada darah yang harus dikorbankan.

Namun, kemenangan umat Islam dalam penaklukan kota Mekkah bukanlah perkara mudah. Sebelumnya, kaum Muslimin harus menandatangani nota kesepakatan dengan kaum kafir Quraisy yang terikat dalam perjanjian Hudaibiyah (treaty of Hudaibiyah). Kesepakatan ini dilatarbelakangi oleh konflik berkepanjangan antara kedua belah pihak. Setelah enam tahun meninggalkan Mekkah untuk berhijrah ke Madinah, kaum Muslimin- baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar – rindu kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Lalu, Nabi Muhammad saw serta sekitar 1500 orang Muslim dan sebagian kecil Musyrikin Arab pergi ke Makkah. Namun sayang, niat baik ini harus tertahan karena pihak kafir Quraisy menolak menerima mereka. Akhirnya, di lembah Hudaibiyah- sekira 30 km dari kota Makkah – kedua kubu menandatangani kesepakatan ini untuk menghindari pecahnya perang.

Sekilas isi perjanjian Hudaibiyah merugikan umat Islam, sehingga memantik rasa ketidakpuasan di kalangan sahabat. Mereka berargumen bahwa meskipun mereka berperang, Insya Allah kemenanangan ada di pihak mereka. Namun, Rasulullah saw bersikukuh untuk menandatanganinya.

Dalam perjanjian ini, Rasulullah saw harus legowo menghapuskan kata Muhammad Rasulullah dan menggantikannya dengan Muhammad putra Abdullah. Selain itu, jumlah umat Islam selama masa perjanjian tidak mungkin bisa bertambah, karena penduduk Makkah tidak boleh ada yang pergi ke Madinah untuk memeluk agama Islam. Yang lebih menyakitkan, kaum Muslimin gagal melaksanakan haji dan umrah tahun tersebut dan harus menunda keberangkatan mereka sampai tahun berikutnya.

Nyatanya, perjanjian ini memberikan beberapa keuntungan bagi umat Islam di zaman Rasul saw. Secara de facto, untuk pertama kalinya, kaum Kafir Qurasiy mengakui Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin umat Islam. Selain itu, kaum Muslimin tidak akan mendapatkan gangguan lagi dalam beribadah haji dan umrah di tahun berikutnya. Selanjutnya, perjanjian ini menyiratkan bahwa kaum kafir Quraisy mulai mengakui eksistensi agama Islam di Jazirah Arab. Dan yang cukup penting, Nabi Muhammad saw mulai berfokus pada pembangunan tatanan sosial dan pengembangan dakwah Islam ke luar Arab karena perang dengan Kafir Quraisy berhenti untuk sementara. Dari sini sebenarnya kita bisa menemukan titik persamaan antara perjanjian Hudaibiyah dan Pancasila dalam konteks kompromi umat Islam dengan kaum nasionalis dan penganut agama minoritas di Indonesia. Sekilas, Pancasila mengebiri hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya secara kafah. Namun, apabila kita kaji lebih jauh, ternyata Pancasila bisa menjadi modal bagi kaum Muslimin untuk menjalankan ekspresi keberagamaan mereka secara leluasa dalam lingkup Indonesia yang plural dan majemuk.

Pancasila dan Kompromi Umat Islam

Sebagian umat Islam tidak mengakui Pancasila sebagai dasar dalam bernegara, dengan alasan kewajiban dalam menjalankan syariat Islam. Menurut kelompok ini, sebagai Muslim, kita wajib meyakini dan menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bernegara. Mereka juga menyayangkan hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada saat perumusan dasar negara.

Tentunya kita memaklumi keberatan ini sebagai ekspresi semangat dalam menjalankan perintah Allah. Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta sosiologis yang melingkupi keberagamaan di Indonesia. Negeri ini terdiri dari berbagai macam pemeluk agama yang mana apabila syariat Islam secara formal diberlakukan, khawatir akan memancing konflik sektarian. Lebih-lebih, umat Islam pun tidak semuanya setuju formalisasi syariat Islam, terutama mereka yang lahir dan besar dengan cara pandangan hidup non-Islami.

Menurut Nuim Hidayat, M.Si., peneliti INSISTS Jakarta, pada tanggal 22 Juni 1945 lahir Piagam Jakarta berupa pembukaan UUD 1945. Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi perubahan yang cukup fundamental. Saat itu, Moh. Hatta, Wakil Presiden RI, mendapatkan kabar dari seorang opsir Jepang bernama Nishijama bahwa masyarakat Indonesia Timur mengajukan keberatan terhadap redaksi alenia keempat yang berbunyi, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Mereka juga mengancam untuk memisahkan diri dari NKRI apabila aspirasi mereka tidak mendapatkan respon. Hatta pun segera bertindak dengan menghubungi perwakilan umat Islam agar bersedia mencoret tujuh kata tersebut dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” . Saat itu, perwakilan umat Islam yang terdiri dari KH. Wahid Hasyim (NU), KH. Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH. Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso (Syarikat Islam) legowo mencoret tujuh kata tersebut dengan janji akan dimunculkan kembali setelah kondisi negara lebih stabil. Namun, janji ini tidak pernah ditepati dan sampai saat ini tujuh kata tersebut tidak tercantum dalam preambule UUD 1945.

Inilah yang memicu kalangan Islam (Partai Masyumi, Partai NU dan Partai Syarikat Islam) mendorong Presiden Soekarno untuk mengadakan pemilu secepatnya. Akhirnya, pada tanggal 29 September 1955 dan 15 Desember 1955 diadakan pemilu yang bertujuan memilih wakil rakyat dan menyusun dasar negara (Majelis Konstituante). Dalam sidang Majelis Konstituante, yang bertujuan untuk merumuskan dasar negara, terjadi perdebatan sengit antar golongan Islam dan golongan nasionalis sekuler. Sidang ini pun berakhir deadlock dan tidak memutuskan apa-apa sampai muncullah dekrit presiden pada 5 Juli 1959. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta pun tak pernah muncul kembali sampai sekarang.

Dalam fase selanjutnya, golongan Islam terpecah menjadi dua menyikapi fakta sejarah ini, apalagi setelah lahirnya order baru yang menahbiskan Pancasila sebagai asas tunggal. Ada yang tetap menolak Pancasila dan bersikeras implementasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ada juga yang menyetujui Pancasila sebagai bentuk kompromi umat Islam dengan penganut agama lain. Contoh golongan yang kedua adalah ormas Nahdlatul Ulama yang mana pada saat perumusan dasar negara tetap ngotot dengan ideologi Islam sebagai dasar negara, tapi kini berbalik mendukung Pancasila.

Pancasila dan Kemenangan Umat Islam Indonesia

Dalam menyikapi perdebatan ideologi negara, NU berpendapat bahwa Pancasila adalah alat untuk mendapatkan kemenangan yaitu kebebasan dalam menjalankan ekspresi keberagamaan Umat Islam Indonesia. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Dari sini, kita bisa melihat ormas NU memaknai Pancasila sebagai alat (bukan tujuan) bagi umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya masing-masing. Pancasila bukanlah segala-galanya, apalagi menggantikan peran agama dalam mengembangkan standar moral bagi umat Islam. Pancasila tidak bersifat sekuler; menjauhkan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Justru sila pertama dari Pancasila menyiratkan keyakinan tauhidik (monoteisme) yang harus menjadi faktor penggerak (driving factor) bagi sila-sila berikutnya. Penafsiran Pancasila dalam kaca mata kepentingan umat Islam seperti inilah yang akan menjadi modal bagi kemenangan umat Islam di Indonesia.

Umat Islam harus pro-aktif menjalan syariat agama-Nya di bawah naungan payung bersama bernama Pancasila. Hal itu bisa berbentuk afirmasi kegiatan dakwah dan pendidikan Islam dalam level mikro, meso dan makro. Selain itu, para pemikir kebangsaan kita harus ikut serta dalam meramaikan penafsiran nilai-nilai Pancasila yang mendukung penegakkan syariat agama dalam ranah sosial masyarakat. Apabila hal ini dapat kita lakukan dengan istiqamah, Insya Allah kemenangan – berupa kemerdekaan dari pembodohan, penindasan dan penzaliman – akan menjadi milik umat Islam di Indonesia.

One thought on “Memaknai Kemenangan Umat Islam

Leave a comment