Scarcity vs abundance oriented

Oleh, Moh Syahrul Zaky Romadhoni
Pengajar di PP Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah, Kota Tasikmalaya

Ada orang yang memiliki ambisi sukses, tapi tidak memberikan ruang kepada orang lain untuk mengikuti jejak dia. Kalau saya menjadi pemenang, maka yang lain harus menjadi pecundang. Tidak boleh ada tropi juara pertama untuk lebih dari satu orang. 

Secara kontras, ada orang yang menapaki tangga kesuksesan sambil memberikan kesempatan kepada orang lain itu berjalan bersama ke lantai yang dituju. Dia akan dengan senang hati memberikan uluran tangan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan. Tidak perlu merasa khawatir jika pujian tidak hanya tertuju pada dia saja, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya, yang tumbuh bersama-sama dalam sebuah komunitas kerja. 

Kedua pandangan tersebut sering kita temukan dalam realitas kehidupan. Raj Raghunatan, seorang pakar kebahagiaan, menamai kedua pola pikir tersebut sebagai scarcity-mindset vs. abundance-mindset.

Bisa jadi dua jenis situasi kontradiktif ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana orang tersebut tumbuh. Seperti halnya Timothy D. Walker, penulis buku Teach Like Finland, yang mendeskripsikan bagaimana para pengajar Amerika memiliki karakteristik yang kontras dengan rekan sesama guru di Finlandia. 

Bisa jadi dua jenis situasi kontradiktif ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana orang tersebut tumbuh. Seperti halnya Timothy D. Walker, penulis buku Teach Like Finland, yang mendeskripsikan bagaimana para pengajar Amerika memiliki karakteristik yang kontras dengan rekan sesama guru di Finlandia. 

Di Amerika Serikat, guru-guru saling berlomba untuk memenangkan kompetisi antar-guru, sehingga mereka bisa menyematkan penghargaan tersebut pada biografi mereka. Memang, banyak dari guru-guru Amerika Serikat memiliki ambisi yang tinggi dalam mengembangkan keprofesian mereka dengan mengikuti kursus musim panas dan membaca literatur-literatur berkaitan dengan profesi mereka. Bahkan mereka berani menggunakan waktu libur mereka dan mengeluarkan kocek sendiri untuk meningkatkan profesionalisme dalam menekuni pekerjaan sebagai pendidik. 

Namun sayangnya, sikap ini lebih ditujukan untuk memuaskan ego mereka untuk menapaki tangga paling tinggi dalam karir. Pengorbanan yang dikeluarkan adalah untuk mendapatkan predikat sebagai Master Teacher, level tertinggi dalam karir sebagai. Mereka tak perlu memikirkan apakah rekan sejawat yang lain bisa mendapatkan pencapaian yang sama.  

Berbeda dengan teman-teman guru di Finlandia, mereka tidak perlu mengorbankan waktu libur untuk mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan diri sebagai guru. Bagi mereka, waktu libur harus digunakan untuk menyalurkan hobi mereka sehingga mereka bisa hidup lebih bahagia. 

Ada prinsip yang dipegang oleh mereka bahwa bekerja itu untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Itu artinya, kita bekerja keras di dunia keprofesionalan kita sebagai bekal untuk menikmati hidup di luar itu. Bukan malah sebaliknya, hidup kita didedikasikan untuk bekerja, sehingga tidak sempat mencicipi nikmatnya hidup. 

Keadaan seperti ini bukan berarti menunjukan bahwa guru-guru Finlandia malas dan tidak ada kemauan untuk maju. Mereka sangat antusias dalam menjalani profesi, tapi hal itu tidak perlu mengorbankan hak mereka untuk menikmati hidup. Karena justru hal itu akan menyokong keberhasilan di dunia pekerjaan. 

Guru-guru Finlandia percaya bahwa pekerjaan akan lebih mudah apabila dilaksanakan secara kolaboratif. Untuk itu, tingkat kolaborasi guru-guru Finlandia sangat tinggi, meskipun mereka hanya memiliki waktu mengajar yang relatif paling sedikit di dunia. Namun dengan waktu yang singkat tersebut mereka bisa melaksanakannya secara efektif dan efisien. 

Dengan mengembangkan pola pikir kebahagiaan abundance-mindset seperti ini, guru-guru Finlandia berhasil membawa kualitas pendidikan di negerinya sebagai salah satu yang terbaik di dunia. [] 

Leave a comment