Pendidikan Islam: Tujuan, Teori Pengetahuan dan Penilaian

asas langgulung

(Studi Buku “Asas-asas Pendidikan Islam” Karya Prof. Hasan Langgulung)

Moh. Syahrul Zaky Romadhoni*

Pendahuluan

Tema tujuan pendidikan Islam selalu menarik untuk diperbincangkan, terutama di saat semakin menjamurnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Pemahaman akan tujuan pendidikan akan berimplikasi langsung pada praksis pendidikan dan output yang dihasilkan dari proses pendidikan tersebut. Sekali saja kita salah dalam memahami tujuan pendidikan Islam, maka akan berakibat fatal pada seluruh aspek praksis pendidikan.

Untuk memperkaya wawasan tentang tujuan pendidikan Islam, kali ini saya hendak menyadur pemikiran Prof. Hasan Langgulung tentang tema tersebut dalam salah satu bukunya “Asas-asas Pendidikan Islam”. Buku ini sangat penting untuk kita kaji karena hampir membahas terma-terma yang berkaitan dengan fondasi pendidikan Islam. Kalau dalam Fiqh ada kajian ushul fiqh yang menjadi landasan dalam menentukan hukum-hukum fiqh, maka asas-asas pendidikan Islam yang dibahas dalam buku ini bisa menjadi referensi bagi kita dalam menjalankan praktek-praktek pendidikan.

Sebelumnya, alangkah baiknya saya memuat profil singkat Prof. Hasan Langgulung terlebih dahulu untuk mengetahui otoritas beliau dalam bidang pendidikan Islam. Prof. Hasan lahir di Rappang, Sulawesi Selatan. Beliau menempuh pendidikan sarjana mudanya dalam bidang Pengkajian Islam di Fakultas Darul ‘Ulum, Universitas Kairo, Diploma Pendidikan di Universtas Ein Shams, MA dalam bidang Psikologi dan Kesehatan Mental di Universitas Ein Shams dan PhD dalam bidang Psikologi di University of Georgia, Amerika Serikat. Beliau adalah Professor dalam bidang pendidikan di Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia. (Sumber: di sini)

 Tujuan Pendidikan Islam

Ketika membahas tujuan pendidikan Islam, Prof. Langgulung memasukannya dalam Bab Pengislaman Ilmu. Di sini penulis tidak hanya membahas tentang tujuan pendidikan Islam akan tetapi juga menyentuh konsep pengetahuan dalam pendidikan Islam, metodologi pengajaran dan sistem penilaian. Semuanya saling berkaitan terutama dalam rangka penyusunan kembali dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam.

Tujuan pendidikan Islam, menurut beliau, harus selaras dengan tujuan penciptaan manusia di dunia. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam Islam tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdikan diri kepada Allah, Sang Pencipta. Untuk itu pendidikan Islam harus bertujuan menciptakan manusia yang siap menghambakan diri kepada Allah dengan melakukan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.

Untuk mencapai maksud tersebut, Prof. Langgulung berpendapat bahwa pendidikan Islam harus mengaktifkan potensi sifat-sifat Tuhan yang ada dalam diri manusia berupa sifat 20 dan 99 nama-nama baik (asmaul husna) yang dimiliki oleh Allah melalui pendidikan integral yang memadukan pendidikan jasmani, rohani, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini senada dengan pendapat Prof. Naquib Al-Attas yang menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah melahirkan insan-insan beradab (insan kamil). Dalam keadaan ini, manusia dapat memikul tugas berat yang dibebankan pada pundaknya yaitu menjadi khalifatullah fil Ardh.

Tujuan pendidikan di atas sangat kontras dengan tujuan pendidikan yang berkembang di Barat sekarang ini. Beda dengan tujuan pendidikan Islam yang transedental, pendidikan Barat sangatlah materialistis dan menafikan pentingnya jiwa. John Dewey, Bapak Pendidikan Barat, penggagas filsafat progressivisme dan aliran pragmatisme dalam pendidikan berpadapat bahwa pendidikan harus ditujukan pada hal-hal yang bermanfaat saja (utiliritariaisme). Sayangnya hal ini lebih ditujukan pada hal-hal kebendaan (duniawi). “Pelajari yang bermanfaat secara material, tinggalkan yang lain,” kira-kira begitu pendapat John Dewey. Kalau saya tafsirkan lebih jauh, pendidikan ritual-ritual keagamaan seperti shalat, puasa, dan naik haji yang memiliki kandungan spiritual yang sangat dalam tidak dianggap penting karena tidak bermanfaat secara materialisitis. Saya masih ingat pendapat seorang aktivitas Islam liberal Indonesia yang merasa prihatin dengan menggejalanya aktivitas-aktivitas keagamaan seperti pembiasaan mengaji sebelum belajar, shalat dluha, dll di sekolah-sekolah negeri dan menganggap trend itu sebagai usaha untuk merubah tempat-tempat umum menjadi majelis ta’lim. Tidak aneh memang karena prespektif yang dia gunakan adalah prespektif Barat.

 Pembagian Pengetahuan

Pemahaman tentang tujuan pendidikan akan berimplikasi pada pemilihan obyek pengetahuan yang harus diajarkan di sekolah-sekolah. Dalam tradisi Barat banyak sekali bermunculan teori-teori pengetahuan. Yang pertama kali muncul adalah faham rasionalisme yang beranggapan bahwa “pengetahuan bebas dari pengamatan indra dan sudah tentu membawa satu pendapat bahwa pengetahuan adalah pemberian Tuhan, wujud di sana dan bebas dari orang yang mengetahui, tidak bergantung pada kondisi yang memiliki pengetahuan itu”. Sebagai reaksi dari rasionalisme lahirlah Empirisme yang dipelopori oleh John Locke yang berpendapat bahwa “tidak ada pengetahuan yang sampai ke otak kecuali harus mencapai panca indera”. Selain rasionalisme dan empirisme, masih banyak teori pengetahuan yang berkembang di Barat seperti pragmatisme Dewey, eksistensialisme/fenomenologi Illich dan Freire, dll.

Dalam tradisi Islam sendiri banyak pendapat tentang pembagian pengetahuan. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu dibagi menjadi 2 golongan bear; ilmu aql dan ilmu naql. Imam Al-Ghazali membagi menjadi ilmu laduni dan insani. Sedang al-Attas membaginya menjadi ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Prof. Langgulung sendiri lebih memilih pembagian  ilmu berdasarkan Second World Conference on Muslim Education yang menyatakan bahwa ilmu terbagi 2; perennial knowledge dan acquired knowledge.

Pengetahuan bentuk pertama (perennial) diterima melalui wahyu dalam al-Quran dan hadits sedangkan pengetahuan bentuk kedua (acquired) diambil dari cipta karya dan imajinasi manusia. Dalam tradisi Barat, pengetahuan bentuk kedua lah yang berkembang.

 Penilaian Pendidikan

Tujuan-tujuan pendidikan hendaknya menjadi pijakan bagi para  pemangku kebijakan dalam melakukan penilaian (assesment) pendidikan. Seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, sebagai implikasi dari tujuan pendidikan Islam yang mencakup seluruh aspek manusia, maka praktek pendidikan haruslah holistik. Penilaian pendidikan memiliki peran penting dalam pendidikan Islam karena hal itu menjadi sarana untuk mengontrol apakah praktek pendidikan Islam yang ideal telah terlaksanakan atau belum.

Atas dasar ini, penilaian pendidikan tidak boleh hanya menyentuh aspek kognitif saja, tapi harus mencakup aspek-aspek penting lainnya dari manusia seperti afektif, psikomotorik, jasmani dan rohani. Penilaian pendidikan jangan hanya menjadi nilai-nilai tanpa makna, akan tetapi menggambarkan perkembangan peserta didik dalam seluruh ranahnya.

 Penutup

Pemahaman tentang tujuan pendidikan Islam memiliki posisi yang sangat penting dalam studi makro pendidikan Islam karena hal ini akan berpengaruh pada hal-hal yang berada di bawahnya seperti teori pengetahuan dan penilaian pendidikan. Diharapkan ulasan singkat dapat membuka wawasan kita tentang tema tersebut, sehingga output yang kita hasilkan selama proses pendidikan sesuai dengan cita-cita luhur dari pendidikan Islam itu sendiri.

*Penulis adalah peneliti di Ruwaada Education Center Tasikmalaya.

One thought on “Pendidikan Islam: Tujuan, Teori Pengetahuan dan Penilaian

Leave a comment